CERITA DEWASA MENIKMATI TUBUH MONTOK PENARI JALANAN

CERITA DEWASA MENIKMATI TUBUH MONTOK PENARI JALANAN


CERITA DEWASA MENIKMATI TUBUH MONTOK PENARI JALANAN , Hasrat-Bispak16 Semuanya orang didalamnya harus berusaha dan berkorban supaya tidak tersisih, dan tidak seluruhnya jalan yang dapat dilintasi itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita peristiwa hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang gak banyak yang kenal nama asli saya. Bapak dan Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, tetapi maknanya tidak hanya itu. Denok  mempunyai arti montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang beberapa orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Waktu kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu satunya Bapak serta Simbok, satu keluarga petani penggarap yang gak berpunya. Mulai sejak kecil saya diajari menari oleh Simbok, lantaran beliau sendiri waktu muda merupakan seorang penari, serta masih ditanggap bila ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti saat satu hari saya serta Simbok temukan Bapak menggantung diri. Rupanya Bapak mempunyai banyak hutang karena sebab hilang ingatan judi, dan beliau tak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang bersedih karena Bapak tidak ada, tetapi juga kebingungan karena beberapa waktu selesai Bapak dikebumikan, kami ditendang dari rumah sebab rumah kami diambil biro judi yang memberikan hutang ke Bapak. Kami tidak miliki lokasi tujuan, dan uang simpanan kami tidak berapa. Simbok selanjutnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat mencoba mencari uang, semoga di situ mendingan dibanding di sini," kata Simbok.


Saya sekedar alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, tidak diterima lantaran dirasa pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak penting ijazah, rival banyak. Pada akhirnya sehabis cukuplah lama menyimak beberapa peluang yang ada, Simbok memastikan untuk memakai ketrampilan kami. Hanya modal baju dan peralatan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awalilah kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota tengah bersiap ujian akhir SMA atau meniti tahun awalan kuliah, serta yang di dusun menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai jalani kehidupan baru, menawarkan ketrampilan seni tari bersama Simbok. Sebelumnya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, cuman cari keramaian di mana kami dapat mendapat beberapa lembar rupiah buat melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mendalami jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang pengin kami hibur dengan tarian kami. Rupanya gak mudah pula cari uang dengan secara sebagai berikut, paling-paling yang kami peroleh cukup buat makan kami berdua, satu atau kedua kalinya di hari itu. Dan tidak di semua tempat kami dapat mendapatkan pirsawan yang mau bayar, terkadang kami jadi ditendang atau dihardik. Sesudah cukuplah lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat selalu bisa pemirsa dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekelilingnya. Kami lantas sewa satu kamar sewa murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, asal dari golongan menengah ke bawah, haus kesenangan murah yang dapat buat mereka ingat daerah semasing. Kedatangan kami dari sana selalu disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Meski sering helai-lembar itu dikasih ke kami kurang santun umpamanya dengan diselinapkan ke busana kami. Apa saya dan Simbok benar-benar memikat? Entahlah ya. Saya sendiri tak berasa elok. Jadi anak petani yang kerap main di luar semenjak kecil, kulit saya jadi lumayan gelap terbakar matahari. Namun Simbok pun sejak dulu selalu membimbing serta memperingatkan saya untuk menjaga badan walau secara simple, jadi meski sawo masak, kulit saya masih tetap mulus dan tidak jerawatan ditambah lagi bopeng-bopeng lho. WAJIB 4D


Oh iya, barusan kan saya telah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipikirkan betul pun sich jika disebut saya montok. Tak tahu mengapa, walaupun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap tubuh saya jadi bisa ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya udah tumbuh, dan saat ini jadi subur gumebyur sampai saya terus takut dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya pun cepat lantaran dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang ngomong bahenol, saya sich matur nuwun saja bila ada yang menganggapnya demikian. Terherannya, walau atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya kira masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya akan menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, bila Simbok itu benar-benar elok. Sampai usia begitu juga beliau selalu elok. cerpensex.com Ditambah lagi bila sudah gunakan sanggul serta dandan, wuihh. Semuanya orang nengok dan tidak tonton apapun kembali. Saya sendiri terus terasa buruk lho kalaupun tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia hanya saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Kecuali Simbok, beberapa orang yang umum lihat kami menari kok seluruhnya ngomong saya elok. Saya pikirkan, ini mah pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu pertamanya didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk sangat. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka harus dibedaki tebal-tebal, hingga lain warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat jadi tebal. Bibir pula diberi gincu warna merah oke. Saya kala itu ngeluh,


"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita perlu membuat puas yang menonton."


Lama-kelamaan saya biasa pun pakai dandanan semacam itu, justru saya bikin guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari tercipta penganten, bentar jika nikah betulan harus seperti apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sama dengan kemben, kain batik, dan selendang. 


Namun benar-benar yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang mengetahui. 2 bulan kami berada di dekat Pasar, tragedi ada kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cedera kritis. Saya was-was, beberapa orang disekitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok tidak terbantu. Simbok wafat di rumah sakit sehabis 2 hari dua malam usaha ditolong dokter di situ. Sesungguhnya mulai sejak ketabrak pun Simbok sudah tidak ada angan-angan, tetapi entahlah mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya hingga sampai sepanjang hari. Hingga sampai tidak sampai hati saya memandangnya. Saat itu ada yang bisik-bisik, barangkali Simbok pasang susuk, karena itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara semacam itu. Tetapi apa itu betul atau tidak, saya tidak mau tahu, biarkan itu menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit serta penguburan, jadi harus berutang kemanapun. Saya tidak bisa melangsungkan acara jenis-jenis buat Simbok, cuman dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana serta berjumpa kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di kontrak saja karena terlampau bersusah-hati. Barangkali setiap hari saya menangis, bersedih ingat Simbok, pula kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, karena uang telah habis dan saya pula perlu temui banyak tukang tagih hutang yang tidak ingin tahu kepelikan saya . Sehingga, satu minggu selepas Simbok disemayamkan, saya kembali persiapan untuk keluar, menari. Di depan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya agar gak terlihat sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, cocok keluar kamar saya malahan bertemu dengan ibu yang punyai kontrak. Sang ibu tidak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak mempunyai uang, jadi saya cuman dapat katakan maaf, serta sang ibu justru ngancam secara lembut. Gak apapun tidak bayar, ujarnya, namun esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya kendala untuk saya. Saya pengen upaya dahulu, kata saya, kelak dapat saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA MENIKMATI TUBUH MONTOK PENARI JALANAN


Apesnya, hari itu pasar lumayan sepi, dan selepas dua jam saya baru bisa Rp5000 sehabis menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala sarat dengan ingatan, bagaimana triknya biar kelak bila pulang sudah memiliki cukup uang untuk bayar kontrak. Belum beberapa hutang yang lain. Mendekati siang, saya sedang jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya lihat Juragan tengah hitung segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya kala itu hanya mengenal beliau jadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua dibanding Simbok, kemungkinan umurnya telah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar serta perutnya gemuk. Sekali 2x saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, serta pegawai-pegawainya memberinya kami uang tetapi beliau tidak. Namun beliau pernah pinjamkan uang pada Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendekati Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot di serta berada di belakang. Tokonya tengah sepi, tidak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan memandang saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya tidak kuat bilangnya. Tetapi saya harus ngomong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis untuk cost penyemayaman Simbok… saat ini saya harus bayar kontrak dua bulan…"


"Hah?" Juragan memandang saya dengan aneh, "Kamu butuh uang?"


"Tolong, Juragan," saya minta kembali, "Saya udah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji akan balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung kantongi segepok uang tadi ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberikan hutang. Kamu butuh uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja." WAJIB 4D


"Saya saat ini  kembali kerja, Juragan," saya kesal tetapi tak berani menunjukkan; kelihatannya Juragan tidak pingin pinjamkan uang. "Hanya ngerinya saya tak dapat dapat uang ini hari untuk bayar sewa. Kalaupun berjualan, saya nggak miliki apapun, perlu jual apa?"


Namun terus tatapan Juragan kok beralih menjadi aneh… Beliau dekati saya serta memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang omong kamu tidak mempunyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya ingin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengayalkan apa artinya itu.


"Bila kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya perlu uang, namun apa harus lewat cara semacam ini? Tetapi jika gak, bagaimana kembali? Yang ada saya bakalan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama dengan. Saya tidak mempunyai opsi lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga sampai tidak terdengaran. Kalaupun saja tidak ketutupan bedak, barangkali udah tampak muka saya berganti merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Mari turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan rupanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak punyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya lagi menyaksikani lantai, tak berani mengangkut kepala, tetapi terkadang saya ngintip ke sana-kemari memandang situasi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada poto tua yang tunjukkan Juragan dengan orang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruang tidurnya. Ia suruh saya duduk di tempat tidur. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, memonitor sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari omong,


"Denok, angkat kepalamu, tonton saya." Saya nurut. Barangkali ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tukasnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, menyaksikan uang itu. Besar sekali untuk saya. Rata-rata sepanjang hari menari saya tidak sempat mendapat uang sejumlah itu. Tetapi saya selalu sangsi. Juragan mendadak pengin ambil kembali uang itu.


"Bila tidak mau ya telah," tuturnya dengan suara kurang puas.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Serasi tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, serta saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum memandang saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membikin orang gairah ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar selesai bicara itu. sumpah, baru kesempatan ini ada laki laki terbuka ngaku semacam itu.


Helai uang lima puluh ribu barusan ditempatkan Juragan di samping saya ia mengambil, lipat, lalu ia sisipkan ke… aduh! Ia imbuhkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," ujarnya. Duh, gak yakin rasanya. Awal mulanya saya serta Simbok harus menari sepanjang hari, hingga sampai pegal-pegal, buat mendapat duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya mendapat uang sejumlah itu … kok enteng sekali?


"Betulan buat saya…?" Masih tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka semua," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa artinya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang ngomong itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben yang ditahan tangan saya, serta kainnya melaju demikian saja tanpa saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat memperoleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka pun kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena barangkali barusan saya malu serta pelan satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya serta membuka kain batik saya. Saya seketika mundur, tetapi tangan Juragan selanjutnya menggenggam bahu saya.


"Tidak boleh takut, Denok…" tukasnya.


Juragan  menggenggam paha saya masih sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu karena sentuhan Juragan. Tangannya selanjutnya nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersenggolan dengan kulit paha saya, serta saya kian deg-degan. Ia selalu remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya terus nyibak kain saya, hingga sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, sedang diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga paha saya telah dikeluarkan dari kemasnya, sedikit kembali kancut saya nampak!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya masih nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya lepas (apa selayaknya saya lepas pun?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sembari saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membujur di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, tetapi gak tahu mengapa, saya pula kok merasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok berikut ini jadi? Juragan tak henti lihat sekujur badan saya, sembari memberi pujian.


"Marilah donk, gak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, jika kamu pengen kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya tidak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… pengen pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama